Pelan tapi pasti, mata kuliah struktur kayu tidak lagi menjadi mata 
kuliah favorit di fakultas teknik, khususnya di jurusan-jurusan teknik 
sipil di Indonesia. Jika di era tahun 90-an saat itu penulis masih 
menjadi mahasiswa S1, maka mata kuliah struktur kayu diberikan dalam dua
 tahapan, yaitu Struktur Kayu I dan Struktur Kayu II. Kondisi tersebut 
tentu dapat dimaklumi karena mata kuliah yang sejenis, yaitu struktur 
baja dan struktur beton juga diberikan dalam beberapa tahapan yang lebih
 banyak. Bahkan masyarakat umumnya pada waktu itu punya pendapat bahwa 
yang disebut material konstruksi untuk struktur adalah material baja, 
beton dan juga material kayu. Jadi bagi seseorang yang berkeinginan 
disebut sebagai ahli struktur bangunan maka penguasaan ilmu ke tiga 
material tersebut adalah suatu kewajiban.
Seiring berjalannya waktu, terjadi banyak perubahan. Hasil pengamatan di Indonesia khususnya di kota-kota besar, jarang dijumpai bangunan baru memakai material kayu sebagai elemen struktur utamanya.
 Apalagi bangunan berukuran besar, yang umumnya berupa bangunan publik. 
Bangunan yang dimaksud seperti misalnya konstruksi rangka atap yang 
dipakai di Pasar Gede, di kota Solo yang orisinil, yaitu sebelum 
mengalami kebakaran. 
Saat ini atap yang dimaksud sudah tidak ada, dan 
diganti dengan konstruksi rangka baja. Kalau ada yang memakai kayu, 
umumnya hanya bangunan non-permanen atau semi-permanen berupa bangunan-bangunan yang relatif kecil
 ukurannya. Jika demikian maka proses pengerjaannya cukup ditangani 
tukang kayu, tak perlu insinyur. Kalaupun ada insinyur pada proyek, maka
 peranannya tidak utama karena pekerjaan struktur kayunya sendiri tetap ditangani oleh tukang kayu yang berpengalaman.
Pada bentuk bangunan tertentu, dimana arsiteknya meminta untuk 
memakai material kayu, seperti pada arsitektur jawa (joglo) pada 
kolom-kolom utama atau soko-gurunya, maka itupun hanya dipakai sebagai 
tampilan luarnya saja (finishing). Bentuk semacam itu misalnya dapat 
dilihat pada bangunan hotel Sheraton Mustika (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Sheraton Mustika Yogyakarta (sumber : lensakoe.wordpress.com)
Gambar 1 memperlihatkan suasana interior bangunan joglo yang relatif 
modern. Untuk mendapatkan perbandingan dengan suasana interior joglo 
asli, akan diperlihatkan juga suasana interior bangunan joglo di keraton
 Yogyakarta (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Istana atau keraton Nggayogjakarta (sumber: internet)
Mengamati dua bangunan joglo pada Gambar 1 dan Gambar 2, yang 
keduanya dibangun pada era berbeda tetapi berada pada kota yang sama, 
yaitu Yogyakarta, yang dalam hal ini dapat dianggap sebagai pusat 
kebudayaan atau asal muasal dari bangunan joglo itu sendiri, maka 
menarik untuk dibahas. Bangunan joglo aslinya adalah kayu (Gambar 2), 
ternyata dapat dimanipulasi menjadi bangunan joglo modern dengan 
material struktur non-kayu (Gambar 1), bisa kolom beton atau baja. Hal 
itu juga menunjukkan bahwa kayu tidak lagi menjadi persyaratan utama 
dari kaca mata perencana arsitekturnya. Pemilihan material konstruksi cukup didasarkan pada pertimbangan umum, seperti kekuatan, kekakuan dan faktor ekonomis semata. Jika pola pikir seperti itu yang berkembang di Indonesia dan kemudian pada akhirnya jarang dijumpai konstruksi kayu untuk bangunan besar, berarti memang material kayu telah kalah bersaing.
Bagaimanapun juga material kayu berbeda jika dibanding baja atau 
beton. Kayu dapat menampilkan suatu keunikan khas, sehingga jenis kayu 
tertentu seperti kayu Jati yang dahulu merupakan jenis kayu favorit 
bangunan rumah di Jawa, berubah fungsi akibat nilai ekonomis terlampaui.
 Seperti diketahui, kayu Jati jika dipakai untuk meubel atau furniture, 
apalagi berukir seperti yang diproduksi dari kota Jepara, akan menghasilkan nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding jika dipakai untuk rangka atap saja. Apalagi fungsi rangka atap sudah dapat diganti dengan baja yang relatif lebih kuat.
Gambar 3.  Kayu sebagai bahan material furniture (sumber: internet)
Adanya fakta bahwa furniture kayu menghasilkan produk bernilai 
ekonomi lebih tinggi dibanding sekedar kayu konstruksi, menyebabkan 
bahan material kayu yang baik akan terserap ke sektor tersebut. Sebagai 
dampaknya jenis kayu bermutu baik, seperti kayu Jati menjadi mahal 
harganya jika sekedar untuk konstruksi atap / bangunan, khususnya jika 
faktor penampakan luar dari kayu itu sendiri tak ingin ditonjolkan. Jadi
 jika hanya sekedar untuk memenuhi kaidah 
kekuatan, kekakuan maupun keawetan untuk rangka atap misalnya, maka 
sebenarnya dapat digantikan bahan lain, seperti baja atau beton.
Kondisi seperti itulah yang selama ini telah terjadi. Pelan
 tetapi pasti, pemakaian bahan material kayu untuk struktur bangunan 
semakin lama semakin jarang karena dapat digantikan oleh bahan lain yang
 lebih murah dengan mutu yang tidak kalah. Kebutuhan untuk menguasai ilmu untuk merancang struktur kayu juga semakin surut, toh jarang dapat diaplikasikan. Kalaupun ada, volumenya kecil dan dapat ditangani tukang kayu.
Gambar 4. Konstruksi atap cold-formed / baja ringan (sumber: internet)
Untuk material kayu bermutu tinggi, harganya semakin tidak 
terjangkau. Jika dipaksa memakai struktur kayu juga maka bahan yang 
terjangkau akan lebih rendah mutunya. Untuk mutu kayu seperti itu, 
meskipun mungkin untuk jangka pendek ditinjau dari segi kekuatan atau 
kekakuan terpenuhi, tetapi dari segi keawetan akan menjadi pertanyaan. 
Maklum kayu juga rentan terhadap rayap. Nah dengan situasi seperti itu, ditinjau dari sisi harga memenuhi dan kuat serta bebas rayap, maka bahan material pengganti yaitu baja cold-formed atau baja ringan berhasil di pasaran. Bahan tersebutlah yang menjadi alternatif untuk konstruksi rangka atap dari rumah tinggal (lihat Gambar 4).
Popularitas kayu sebagai bahan konstruksi yang semakin turun, juga 
berdampak pada dunia pendidikan tinggi, khususnya bidang teknik, materi 
mata kuliah struktur kayu di jurusan teknik sipil direduksi hanya satu 
tahapan saja dengan bobot 3 sks. Bahkan, di Jurusan Teknik Sipil UPH saat ini, mata kuliah tersebut hanya diberi bobot 2 sks.
 Bobot minimum untuk suatu mata kuliah. Untung saja masih jadi mata 
kuliah wajib, sehingga menjadi prasyarat utama yang harus ditempuh, 
bukan sekedar mata kuliah pilihan. Karena jika demikian, mata kuliah 
tersebut kemungkinan hanya akan dibuka jika ada mahasiswa yang berminat saja. Sehingga bisa-bisa, tidak pernah dibuka sama sekali.
Bagaimana kondisi mata kuliah struktur kayu di tempat lain. Perlukah kita lakukan up-to-dated besar-besaran.
sumber: http://wiryanto.wordpress.com/2012/06/06/struktur-kayu-inikah-kondisimu/ 







0 komentar:
Posting Komentar